Senin, 02 Mei 2011

SKETSA PERGULATAN ETNIS CHINA DI KOTA PALEMBANG








INTAN KAMELIA MOHTAR
09221027

Dosen pembimbing:
NURCHAERIYAH,M.Pd




JURUSAN TADRIS MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2011



DAFTAR ISI
                


HALAMAN JUDUL ....................................................................       i          
DAFTAR ISI ................................................................................       ii
BAB I
PENDAHULUAN    .....................................................................       1
A.                Latar Belakang            …………………….....……………..     1
B.                 Rumusan Masalah       …………………....………………..      2
C.                 Tujuan             ……………………………………………..     2
BAB II
PEMBAHASAN          ..................................................................       3
A.        Sejarah Kedatangan Etnis Cina di Kota Palembang  ……..          3
B.        Pemukiman Masyarakat Etnis Cina di Palembang     ……..          5
C.        Identitas Transnasional Etnis Cina     ……………………..         6
D.        Reaksi Subjektif terhadap Kata Cina dan Tionghoa  ……..        7
E.         Krisis Identitas Diri Pada Kelompok Minoritas Cina ……..         9
F.         Persepsi Masyarakat Kota Palembang terhadap
Orang-orang Etnis Cina          ………………………………    10
G.        Mitos Kekayaan Orang Etnis Tionghoa di Indonesia       …..      11
H.        Antara Asimilasi dan Integrasi           ………………….…..        13
I.          Antara Civil Awareness dan Politik Praktis   ……….……..        15
J.          Pemerintah, Negara dan Peradaban    ……………….……..     16
K.        Catatan Kelam Etnis Cina pada Kerusuhan
Mei 1998 di Palembang          …………………….....……..     18
BAB III
PENUTUP                 .......................................................................     22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................       iii


BAB I
PENDAHULUAN


A.                Latar Belakang

Ketegangan, kebingungan, keraguan seakan-akan “harus” menjadi bagian hidup orang etnis Cina. Dalam kehidupan sehari-hari ia harus berhati-hati, harus memperhitungkan banyak faktor. Dalam berbicara, dalam berdagang, dan sebagainya ia tidak boleh sembarangan. Ada banyak “awas ini” dan “awas itu”. Ia seakan-akan berjalan dalam jalan yang dipenuhi dengan rambu-rambu
Penelitian  yang dilakukan oleh Rizal Bahrun mengungkapkan bahwa dalam diri orang etnis Cina di Indonesia terdapat sebuah dilema konflik psikologis. Disatu pihak, mereka mencintai tanah air Indonesia, tetapi di lain pihak, mereka merasa ditolak. Ada perasaan kuat untuk tinggal di Indonesia, tetapi ada juga perasaan untuk keluar dari Indonesia. .[1]
Sedangkan dalam telaah artikel Eddy Witanto ditemukan bahwa ada pemisahan orang etnis Cina dengan orang Palembang ( orang lokal ) bukan pertama-tama disebabkan oleh faktor ekonomi, melainkan oleh faktor  pemukiman. Sudah sejak zaman kolonial orang etnis Cina tinggal dalam wilayah terpisah, baik karena mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda maupun oleh kebutuhan dagang. Tapi pemisahan geografis ini (istilah : morfologi fisik) tanpa disadari berubah menjadi pemisahan sosial dan ekonomi. Pergeseran ini ternyata berakibat panjang dan fatal, suatu hal yang sebenarnya tidak diinginkan oleh orang etnis Cina itu sendiri.

B.        Rumusan Masalah

Konflik-konflik internal yang bermunculan dalam pergulatan hidup orang etnis Cina di kota Palembang inilah yang akan penulis tuangkan dalam makalah ini tentang seperti apa sebenarnya sketsa kehidupan orang etnis Cina di kota   Palembang ?. Dan konflik internal semacam apakah yang menggelayuti kehidupan orang etnis Cina di kota Palembang ?.

C.        Tujuan        

Makalah ini bermaksud untuk dapat mendeskripsikan tentang pergulatan etnis Cina di kota Palembang, yang di khususkan kajiannya pada berbagai permasalahan dan konflik internal dalam kehidupan masyarakat etnis Cina kota Palembang.













BAB II
PEMBAHASAN

     
A.        Sejarah Kedatangan Etnis Cina di Kota Palembang
     
Semenjak dulu kala, Kota Palembang, Sumatera Selatan telah dikenal sebagai pusat perniagaan. Laut dan sungai merupakan lalu lintas perdagangan yang digunakan para saudagar sebagai jalur angkutan barang-barang niaga kebutuhan masyarakat di sini. Kebiasaan perdagangan dengan menggunakan lalulintas laut dan sungai telah mewarisi para saudagar kawasan ini yang berlangsung sejak zaman Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di kota Palembang.
Menurut prasasti tanggal 16 Juni 671 penguasa Kerajaan Sriwijaya mendirikan Wanua yang kemudian dikenal sebagai Kota Palembang. Kota Palembang dikenal juga sebagai kota sungai dan hampir 52 % wilayahnya pada masa itu dilalui sungai-sungai, sehingga alat transportasi di kota tua ini juga menggunakan perahu-perahu.
            Bahkan dalam literatur Tiongkok, Chun – Fan –Cchi yang ditulis oleh Chao Jua-Kua, pada abad ke 14 diceritakan bahwa Sriwijaya merupakan negara yang terletak di laut selatan menguasai lintas perdagangan asing di selat-selat. Tidak berbeda dengan literatur yang dikemukakan oleh Budayawa Palembang Djohan Hanafiah dalam sebuah bukunya Perang Palembang Melawan VOC (1996) diceriterakan bahwa Sriwjaya merupakan kerajaan yang lebih menguasai wilayah perairan di Asia Tenggara. Lalu, berdasarkan catatan sebagaimana dituturkan almarhum Djohan Hanafiah waktu lalu, Raja Palembang yang bernama Ma-na-ha, Pau –In –Pang (Maharaja Palembang) mengirim dutanya menghadap Kaisar Tiongkok pada tahun 1374. Maharaja ini disebut sebagai Raja Palembang terakhir pada saat penguasaan Sriwijaya,sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada tahun 1377.[2]
Jadi, Palembang tidaklah merupakan suatu yang asing bagi para penguasa Tiongkok pada dahulu kala, karena memang mereka juga telah memiliki hubungan baik dengan raja-raja di wilayah kekuaaan Sriwijaya. Dalam beberapa literature yang pernah diungkapkan Djohan pada bukunya, sebutan Palembang muncul pada abad 13 setelah berakhirnya masa kejayaan Sriwijaya abad 7-abad 12. Palembang semula berasal dari ejaan para saudagar Tiongkok yang menyebutkan Fa Lin Fong , seperti dituliskan dalam tulisan Tiongkok Chu Fa Shi karya Chau Ju Kau tahun 1225.
Makin jelas pula bahwa hubungan orang-orang Palembang dengan Tionkok merupakan sebuah hubungan yang demikian erat setelah penulis Tiongkok lainnya, Ma Huan, dalam catatan perjalannya Ying Ysi Shueng Lan (1416) menuliskan berbagai catatan mengenai Palembang yang diejanya dalam tulisan menyebut Pa Lin Pang.[3]
Komunitas Cina Palembang yang secara historis telah melakukan hubungan dagang sejak awal abad Masehi tentunya juga mempunyai sejarah yang panjang tentang pemukimannya. Meskipun demikian, keterbatasan data tidak memungkinkan untuk merekonstruksi pola pemukimannya sejak awal kehadiran mereka di Palembang. Oleh karena itu, dalam tulisan sejarah pemukiman masyarakat Cina di Palembang dimulai sejak runtuhnya kerajaan Sriwijaya sampai masa kolonial.
 Dari data keramik dapat diperkirakan sekurang-kurang sejak abad ke –7 Masehi, sudah terjalin hubungan dagang anatara Cina dengan Palembang, meskipun sumber tertulis menyebutkan bahwa puncak hubungan perdagangan terjadi pada abad ke 10-16. Hubungan dagang ini diperkuat dengan kehadiran utusan-utusan dari Palembang sejak abad ke -7 sampai dengan abad ke-13 ke negeri Cina. Dari sumber berita Cina sendiri hanya dapat diketahui bahwa sejak abad ke –7, tidak hanya hubungan dagang saja yang terjalin di antara kedua wilayah ini, melainkan juga hubungan agama. Hal ini terbukti dari kehadiran It’sing, seorang pendeta Budha dari Cina yang belajar Sanskerta di Sriwijaya pada tahun 671 sebelum ke Nalanda, India. Berdasarkan data sejarah dapat diketahui bahwa kelompok etnis Cina sudah mulai mengadakan kontak dagang sejak abad ke-7 Masehi, saat daerah ini masih dikuasai oleh Sriwijaya. Pada masa kemudian kedatangan orang-orang Cina yang menetap di Palembang justru melahirkan kepemimpinan kelompok etnis Cina di wilayah ini.
Bahkan, setelah Islam memasuki daerah ini peran mereka pun tidak surut, terbukti dengan munculnya imam kerajaan dari kelompok mereka. Dari sumber berita Cina (Ying Yai Sheng Lan) dapat diketahui bahwa etnis Cina yang ada di Palembang berasal dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou. Hanya saja dari sumber tersebut tidak disebutkan etnisnya.

B.        Pemukiman Masyarakat Etnis Cina di Palembang

Pemukiman masyarakat Cina terdapat di wilayah 7 Ulu yang secara administratif termasuk wilayah Kelurahan 7 Ulu, kecamatan Seberang Ulu I, Palembang. Masyarakat Cina yang merupakan bagian dari penduduk Palembang tentunya pola pemukimannya tidak jauh berbeda. Awalnya kelompok etnis Cina, seperti halnya masyarakat asing lainnya yang bermukim di wilayah Palembang, atas kebijakan sultan Palembang ditempatkan di seberang Ulu.
 Pembagian tata letak pemukiman yang berdasarkan status sosial, pekerjaan dan etnis telah terjadi di Palembang sejak kratonnya masih di Kuta Gawang. Etnis Cina ditempatkan di luar kraton.
Bahkan, seperti halnya penduduk lainnya mereka bermukim di atas rakit. Rumah-rumah rakit yang berada langsung di atas air tetap mempunyai pola linear hanya sari segi kuantitas jumlahnya berkurang, hal ini terjadi karena perkembangan jaman (perubahan pemerintahan). Mereka lambat laun membentuk pemukiman rumah panggung. Keadaan ini juga berlaku untuk kelompok etnis Cina, sehingga kemudian munculah pemukiman Cina di 7 Ulu dengan segala sarana dan prasarananya.
Pemukiman etnis Cina ini ditandai dengan adanya rumah Kapitan Cina, kelenteng dan pemakaman di Bukit Mahameru. Langgam arsitektur di kawasan Pecinan tersebut dipengaruhi oleh arsitektur lokal (Palembang), Cina dan Belanda. Sampai akhir pemerintahan kolonial Belanda pola pemukiman mereka tidak berubah, baik yang bermukim di atas rumah panggung maupun di atas rakit, yaitu berpola linear. [4]

C.        Identitas Transnasional Etnis Cina

Di antara orang-orang etnis Cina terdapat pluralitas identitas. Jangankan diantara orang etnis Cina yang hidup di negeri yang berlainan, seperti misalnya di Bangkok dan di San Fransisco. Bahkan mereka yang sama-sama tinggal di satu kota di Indonesia (Palembang misalnya) pun banyak yang tidak mempunyai keseragaman identitas etnis. seorang  etnis Cina yang hidup di lingkungan pribumi di Palembang mempunyai identitas etnis yang berbeda dengan seorang etnis Cina di kota yang sama yang tinggal di komunitas etnis Cina da menggunakan bahasa dialek Cina untuk komunikasi di rumah.
Bahkan diantara orang etnis Cina Indonesia di Palembang yang secara budaya tidak menganut nilai-nilai “Cina”, dan bahasa sehari-hari yang dipakai juga bukan bahasa Mandarin atau salh satu dialek Cina tapi bahasa etnis setempat ( Palembang ) terdapat perbedaan persepsi identitas yang kuat . di antara mereka ada yang mendukung upaya asimilasi (pembauran)orang etnis Cina ke dalam budaya etnis lain di Palembang, tetapi ada juga yang menginginkan agar orang etnis Cina yang mau menjiwai dan menjalani kebudayaan etnisnya bisa melakukan hal itu tanpa rintangan. Yang satu meganut asas asimilasi atau pembauran , yang satu lagi menganut asas hidup berdampingan dalam keberbedaan secara damai.[5]
Tapi disamping kepluralan tersebut, pada saat yang sama ternyata ada rasa kebersamaan. Sebuah rasa kebersamaan yang karakternya berbeda-beda karena berkembang di lingkungan yang berlainan. Aneka rasa kebersamaan tersebut yang memungkinkan orang-orang etnis Cina mempunyai, yang oleh Aihwa Ong disebut identitas transnaisional[6]  yang menembus batas-batas negeri . Rasa kebersamaan tersebut sebagian berasal dari pengetahuan historis bahwa mereka sama-sama keturunan perantau yang berasa dari Cina. Sebagian juga berasal dari diskriminasi dan rasisme yang dialami oleh sebagian besar orang-orag etnis Cina, kecuali mereka yang hidup di Singapura, Taiwan dan Hongkong yang hidup sebagai etnis minoritas di berbagai belahan dunia. Sebagian lagi dilandaskan pada jaringan bisnis etnis Cina yang sudah sedemikian tua umurnya dan memang transnasional jangkauannya.  

D.        Reaksi Subjektif terhadap Kata Cina dan Tionghoa

Pada permulaan tahun 1960-an muncul kajian-kajian yang mengaitkan masalah kebahasaan dengan masalah kemasyarakatan . Jika sebelumnya kajian bahasa dipusatkan pada kajian bahasa itu sebagai system sandi semata-mata, yakni terlepas dari faktor-faktor di luar bahasa, pada permulaan dasawarasa tersebut mulai banyak akajian yang menggunakan faktor-faktor ekstra linguistic atau faktor-faktor social untuk menerangkan gejala atau femomena bahasa. Yang mempelopori kajian semacam itu ialah William Labov, yang karena sumbangannya yang besar sekarang sering disebut sebagai  Bapak Pengkajian Dinamis Bahasa . Implikasi dari sebutan ini adalah bahwa bahasa dapat dikaji secara dinamis, yaitu dengan mengaitkan masalah bahasa dengan masalah-masalah di luar bahasa.
Secara teoretis , peyorasi ( makna kata yang mula-mula baik atau setidak-tidaknya netral menjadi jelek ) dapat saja berbalik mengalami ameliorasi ( makna kata yang dahulu jelek menjadi lebih baik : makna yang baik berubah menjadi berkonotasi buruk kemudian berubah mnjadi berkonotasi baik lagi .
Tampaknya hal ini berlaku pada kata Cina, yang diduga berasal dari kata Chi’in yang diasosiasikan dengan kaisar Chi’in (Qin) ( 221-206 SM )[7] . Dari sumber yang sama diperoleh keterangan bahwa dinasti Chi’in itu sudah berjaya mulai abad ke-3 SM. Yang dapat diinferensikan dan patut dicatat ialah bahwa adanya kekaisaran Chi’in itu menyebabkan rakyatnya disebut orang Chi’in, dan sebutan itu menyebar ke negara-negara di luar kekaisaran itu. Bagi penduduk negara-negara luar itu, orang Chi’in adalah warga kekaisaran Chi’in.
Pokok persoalan timbul karena Kaisar Chi’in terkenal kejam dan lalim . Rakyat dari segala lapisan menderita karena kerja paksa dan hukuman yang dijatuhkan oleh kaisar Chi’inkepada mereka secara sewenang-wenang. Ketika dinasti Han berhasi menjatuhkan dinasti Chi’in penduduk dinasti Han lebih suka menyebut drinya “orang Han”, bukan “orang Chi’in”. kata Chi’in mengingatkan pada kekejaman dan penderitaan. Orang Han berusaha melupakan segala sesuatu yang diasosiasikan dengan kaisar Chi’in.
Dua ribu lebih tahun telah berlalu sejak terjadinya peyorasi kata Chi’in itu, tetapi sampai sekarang “banyak” orang Han ( Warga Negara Indonesia Keturunan (WNIK)) yang tidak suka dengan sebutan itu terhadap dirinya. Hal ini tampaknya disebabkan oleh kenyataan strereotip negatif itu diturunkan dari generasi yang satu dengan generasi yang berikutnya. Sekiranya suatu generasi tidak “mengajarkan” kenegatifan konotasi istilah Cina itu kepada anak-cucu mereka, dapat diduga istilah itu bagi WNIK mengalami ameliorasi.
Ada beberapa orang WNIK yang diwawancarai untuk pengkajian ini yang mengatakan bahwa mereka kurang suka disebut Cina karena kata ini, menurut mereka, “selalu” digunakan oleh WNIP (Warga Negara Indnesia Pribumi) untuk mengumpat, misalnya dalam bngkai kalimat “ Dasar kamu ___ ”. Masih menurut “narasumber” tersebut, di dalam kontenks mengumpat itu tidak pernah dipakai kata Tionghoa. Jika benar, mungkin hal ini dapat dipakai sebagai alasan mengapa kata Cina itu berstigma. Setidak-tidaknya hal itu menambah stigma yang telah melekat lama sekali. Bagaimanapun surat edaran Presidum Kabinet RI No. 6/1967 pergantian istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina dapat dianggap sebagai pemaksaan, dan paksaan dapat saja menyebabkan rasa tidak enak pada orang yang mendapatkan pemaksaan tersebut.
Sedangkan dari beberapa warga Palembang yang telah penulis wawancarai menyatakan bahwa ada tiga alasan mengapa kata Cina perlu di pakai. Pertama kata ini lebih ekonomis karena hanya terdiri atas dua suku kata. Kata Tionghoa, bagi lidah WNIP, terdiri dari empat suku kata yang karenanya tidak ekonomis. Kedua, bagaimanapun, di dalam bahasa Indonesia kata Tionghoa adalah kata asing, dan karenanya, di dalam tulisan harus selalu di garis bawahi atau dicetak miring. Implikasinya dapat jauh : orang Tionghoa harus selalu “dicetak miring” dalam pergaulan bangsa kita, apapun siratannya. Ketiga, Orang Tionghoa dapat diartikan sebagai warga Tiongkok dan implikasinya ia bukan orang Indonesia.

E.        Krisis Identitas Diri Pada Kelompok Minoritas Cina

“Siapa sih kamu ? pulang saja ke negrimu, dasar Cina !”
Demikian umpatan yang acap kali muncul ketika seseorang sedang marah kepada teman atau rekan bisnis yang kebetulan bermata sipit serta bekulit kuning. Meski sekarang sudah jarang terdengar, tetapi kata-kata seperti itu dapat ditafsirkan sebagai ungkapan rasa tidak senang yang tersimpan di lubuk hati yang paling dalam. Masalah seperti ini acap kali menimbulkan luka bagi yang terkena, karena dibalik kata-kata tersebut ia merasa tidak diakui sebagai bagian suatu bangsa Indonesia, tetapi tetap dianggap orang asing yang setiap saat dapat dievakuasi ke negeri asalnya.
Dalam peristiwa Mei 1998 masalah itu mencuat lagi ke permukaan. Banyak pihak yang tampil untuk membahas hal ini dalam berbagai kesempatan seminar, semiloka, atau media masa, cetak maupun elektronik. Konflik batin seperti apa yang yang terjadi pada kelompok etnis Cina yang mengalami tempat pijakannya dalam posisi yang marginal ? disatu sisi ia merasa sebagai anak bangsa penuh yang sama dengan teman-temannya dari kultur yang lain seperti Jawa, Komering, Ogan, Sekayu, dan lain-lain. Namun disisi yang lain ia merasa sebagai orang asing bila ia menerima umpatan seperti di atas.[8]
Dalam ilmu psikologi, identitas diri merujuk pada kejelasan dan stabilitas dari citra seseorang tentang dirinya. Orang yang memiliki identitas yang jelas dan stabil tahu siapa dirinya dan apa yang dianggapnya penting dan apa yang akan dilakukannya dalam situasi tertentu. Orang lain pun akan tahu orang tersebut hidup untuk apa dan apa yang bisa diharapkan darinya.
Dan peristiwa Mei 1998 bagaikan suatu bencana besar yang esensial dalam waktu yang relativ singkat. Salah satu aspek yang mendapat imbas dari peristiwa tersebut adalah citra diri. Peristiwa itu telah mengubah citra diri yang dimiliki sebelumnya oleh orang –orang Indonesia keturunan Cina ini, sehingga mereka mengalami suatu perubahan besar dalam diri mereka.
Citra diri yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membentuknya dapat “dihancurkan” begitu saja dan meninggalkan efek yang sangat dalam. Perlu waktu yang cukup lama agar seseorang dapat mengembalikan citra dirinya seperti semula, atau dapat menyesuaikan diri dengan citra dirinya yang baru ( yang terbentuk karena pengalaman baru ). Proses ini juga tidak lepas dari kemungkinan munculnya sejumlah konflik baru. 

F.         Persepsi Masyarakat Kota Palembang terhadap Orang-orang Etnis Cina

Sulit untuk dibantah bahwa dalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat kota Palembang pada khususnya berkembang sejumlah stereotip negatif tertentu mengenai karakter masyarakat etnis Cina. Misalnya, Charles A. Coppel mengidentifikasi setidaknya ada lima karakter umum etnis Cina yang berkembang dalam persepsi masyarakat Indonesia.
Pertama, masyarakat etnis Cina cenderung dianggap sebagai sebuah bangsa (ras) yang terpisah, yakni bangsa Cina.
Kedua, masyarakat etnis Cina yang diuntungkan dalam struktur sosial dibawah pemerintahan kolonial Belanda dilihat sebagai faktor penting yang memungkinkan mereka untuk menjadi kekuatan ekonomi yang dominan, yang kemudian menjadi sumber ketidaksenangan di kalangan masyarakat asli.
Ketiga, struktur sosial diskriminatif selama penjajahan Belanda, dimana mayoritas kalangan etnis Cina lebih suka mengidentifikasikan diri mereka sebagai warga Belanda, juga melahirkan persepsi negatif  bahwa masyarakat etnis Cina memiliki sikap arogan, memandang rendah masyarakat Indonesia asli, dan cenderung eksklusif serta mempertahankan hubungan “kekerabatan” denga Cina daratan.
Keempat, masyarakat etnis Cina dilihat sengai kelompok yang tidak akan berubah dan akan selalu mempertahankan nilai-nilai kulturalnya dimana pun mereka berada. Hal ini, misalnya, kerap terlihat pda ungkapan sekali Cina, tetap Cina.
Terakhir, masyarakat etnis Cina dilihat sebagai kelompok yang hanya peduli kepada kepentingan mereka sendiri, khususnya kepentingan ekonomi.[9]

G.        Mitos Kekayaan Orang Etnis Tionghoa di Indonesia.

Ketika beberapa bulan setelah terjadinya kerusuhan Mei 1998, banyak media massa Indonesia maupun luar negeri memberitakan tentang peranan dominan kelompok minoritas keturunan Tionghoa (3.5 % populasi) dalam mencengkram 70 % perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Pernyataan ini begitu seringnya diberitakan kalangan media dunia sehingga dipercayai oleh semua orang termasuk orang-orang etnis Tionghoa sendiri dan mereka-mereka yang bersimpati dengan nasib-nasib etnis Tionghoa di Indonesia. Tapi apakah demikian?
Penelitian George J. Aditjondro yang dimuat di Koran Jakarta Post 14 Agustus 1998 menelusuri dari mana “angka 70%” itu berasal. Dalam artikel ini (Indonesia: The Myth of Chinese Domination) dijelaskan bahwa “angka 70%” ini berasal dari hasil penelitian tentang Jaringan Bisnis Overseas Chinese di Asia yang dilakukan oleh Michael Backman—eksekutif dari Departemen Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Australia pada Unit Kerja Analisa tentang Asia Timur di tahun 1995.
Ternyata, “Penguasaan 70% perekonomian Indonesia” yang dimaksud adalah 70% dari kapitalisasi pasar perusahaan-perusahaan swasta saja di Indonesia, sehingga tidak termasuk kapitalisasi pasar perusahaan-perusahaan asing (seperti PT. Freeport Indonesia, Inc atau Coca-Cola Amatil) maupun Badan-Badan Usaha Milik Negara/Daerah di akhir tahun 1993. Cara perhitungannya pun secara garis besar saja. Misalnya, kelompok usaha BankCentralAsia (BCA) dianggap 100% milik etnis tionghoa, Liem Sioe Liong. Padahal pada tahun 1993, dua anak Presiden Soeharto—Siti Hardijanti Rukmana dan Sigit Hardjojudanto, juga tercatat sebagai pemegang saham BCA dalam porsi jumlah yang cukup besar.[10]
Tapi memang kebanyakan etnis Tionghoa di Indonesia berbisnis dengan membuka toko-toko retail ataupun distributor barang sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka menguasai perekonomian Indonesia. Padahal mungkin hal itu hanya terlihat dari permukaan saja. Perlu penelitan dan riset lebih lanjut untuk menghasilkan data yang lebih ilmiah dan akurat mengenai berapa persen sebenarnya peranan etnis Tionghoa dalam perekonomian dunia, terutama untuk konsumsi para jurnalis karena seperti tulisan Mr. Aditjondro dalam artikel tersebut, “ …simply repeating the myth that ‘Chinese-Indonesians, who constitute only 3%-4% of the population, control 70% of the economy,’ without even bothering to verify it with the existing economic and business statistics, does not only reflect sloppy business journalism but it also a convenient and racist way of blaming the victims.”[11]

H.        Antara Asimilasi dan Integrasi

Kelompok lain adalah kelompok yang sadar bahwa harus terjadi pembauran kelompok etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia. Tapi biarpun bertujuan sama, kelompok ini terbagi menurut cara pembaurannya, yaitu kelompok Asimilasi dan kelompok Integrasi. Kelompok Asimilasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat menjadi yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya dengan menghilangkan identitas dan budaya asal menjadi satu masyarakat yang satu dan seragam (melting pot), sedangkan Integrasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas atau budaya asal (multikulturalisme).
Kelompok Integrasi dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan yang ikut mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan Asimilasi oleh Sindhunata (Ong Tjhong Hay) yang ikut mendirikan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa).
Karena bangsa Indonesia bukanlah negara yang homogen budaya maupun ras-nya, maka Siauw Giok Tjhan menganggap bahwa etnis tionghoa yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia semestinya diakui sebagai salah satu suku bangsa yang sejajar dengan suku jawa, batak, sunda, dstnya. Semua suku-suku bangsa inilah yang akan membentuk sebuah Nation, yaitu : Indonesia, tanpa harus menghilangkan identitas dan budaya asal masing-masing. Menurut beliau, cara ini jauh lebih baik diterapkan di Indonesia, mengingat semboyan negara adalah : Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konsep ini, etnis tionghoa tidak perlu mengganti nama, agama ataupun kawin campur untuk menunjukkan bhaktinya bagi Indonesia. Cinta, pikiran dan tindakan seseorang-lah yang menentukan bhakti pada Ibu Pertiwi.
Sebaliknya LPKB berpikiran bahwa untuk menyelesaikan masalah rasial ini secara cepat, etnis Tionghoa sebagai minoritas harus meleburkan diri kepada mayoritas dengan cara menghilangkan identitas dan kebudayaan ke-tionghoa-annya. Jika konsep peleburan ini berhasil diterapkan maka tidak akan lagi perdebatan antara satu kelompok dengan kelompok lain karena yang tersisa hanyalah masyarakat Indonesia. Program LPKB menganjurkan proses asimilasi secara serentak di segala bidang kehidupan dengan menitik beratkan pada asimilasi sosial selain asimilasi kulturil, politik, ekonomi dan kekeluargaan (pernikahan campur).[12]
Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno tampaknya lebih menyukai konsep Integrasi dibandingkan Asimilasi sehingga Baperki dan Siauw Giok Tjhan menikmati kedekatan-nya dengan pemerintah. Selain dekat dengan pemerintahan orde lama, Baperki juga mendapat dukungan penuh dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi karena hal ini pula, setelah Gerakan 30 September tahun 1965, Baperki dianggap ormas-ormas “berbau” komunis dan “dekat” dengan Tiongkok Daratan sehingga dibubarkan dan dilarang, sedangkan Siauw Giok Tjhan ditahan selama kurang lebih 13 tahun tahun tanpa pernah melalui proses pengadilan.
Di jaman Orde Baru, LPKB dianggap memainkan peranan penting dalam menghilangkan kultur, tradisi, agama (Konghucu) dan bahasa tionghoa lewat beberapa peraturan perundangan dan kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto (Inpres No. 14/1967). Bahkan di dalam tubuh BAKIN dibentuk sebuah badan (Badan Koordinasi Masalah Cina – BKMC) yang khusus mengawasi gerak-gerik etnis tionghoa di Indonesia.
Di era reformasi, perdebatan Integrasi vs Asimilasi di kalangan etnis Tionghoa mulai menghangat kembali ketika kelompok Integrasi, yang kebanyakan berasal dari kalangan muda dan Konghucu, mulai mendapat “angin” dari pemerintah. Perdebatan kadang melebar dan menjadi rumit ketika sampai kepada masalah agama di mana kalangan integrasi beragama Konghucu dan Tao kerap mencurigai kalangan institusi agama lain ikut berperan dengan kelompok Asimilasi, atau paling tidak membiarkan terjadinya diskriminasi pada masa orde baru karena institusi agama lain mendapat limpahan umat dari “pelarangan agama” Tao dan Konghucu di Indonesia. Apalagi selama ini tokoh-tokoh Asimilasi, termasuk pendukungnya seperti para konglomerat etnis Tionghoa yang dekat dengan rezim orde baru, sebagian besar beragama non Konghucu dan Tao. Perdebatan ini seringkali mengkerucut dan mengakibatkan Perpecahan. Semuanya terjadi karena dendam dan trauma yang bersumber dari rasa takut.
Padahal yang harus dipertentangkan bukan soal cara Integrasi atau Asimilasi, tapi pemaksaan-nya, apalagi lewat perundangan yang tertulis dan berkekuatan hukum sehingga menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Lewat pemikiran jernih, baik asimilasi maupun integrasi sebenarnya sama-sama bertujuan yang sama, yakni menciptakan pembauran sehingga tercipta masyarakat Indonesia yang bisa hidup bersama secara damai. Kalau tujuannya sama, kenapa masih harus memperdebatkan jalan mana yang paling benar? Kecuali bila “Ego dan Dendam ikut bermain.”

I.          Antara Civil Awareness dan Politik Praktis

Pandangan ini membuat sebagian masyarakat tionghoa tidak mau tahu atau terlibat urusan lain yang tidak terkait langsung dengan diri, keluarga ataupun pekerjaannya. Tapi kadang perilaku ini sering dianggap sebagai ke-engganan etnis Tionghoa berpartisipasi dalam bernegara atau bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Serba-Salah.
Pemikiran naif sebagian besar orang-orang Tionghoa di Indonesia tentang politik sehingga mereka tidak mampu membedakan antara Civil Awareness ataupun Ber-politik praktis yang mereka “haramkan.” Biarpun ke-2nya pasti bersinggungan dengan dunia politik, Ber-politik praktis terjadi ketika ada upaya mempengaruhi massa dengan motivasi mendapatkan kekuasaan demi kepentingan sendiri atau kelompok tertentu, sedangkan Civil Awareness (Kesadaran sebagai seorang warga-negara) adalah ketika terjadi upaya mempengaruhi massa tanpa motivasi mendapatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi/kelompok tertentu, untuk memperbaiki keadaan seluruh masyarakat di negara tersebut. Tapi ke-2nya tetap saja beresiko bagi praktisinya untuk terimbas permainan kotor dalam dunia politik.
Mungkin hal ini berkaitan dengan terisolirnya kelompok etnis Tionghoa dari percaturan politik praktis sejak tahun 1966 sehingga generasi mudanya hampir-hampir tidak punya referensi tentang perbedaan antara politik praktis dan Civil Awareness.[13] Terkadang untuk membela hak-hak mereka sebagai seorang manusia atau warganegara yang selama ini tertindas untuk setara dengan warga negara lain itupun, selalu digolongkan sebagai “bermain politik praktis.” Ke-engganan kelompok ini untuk membela hak-hak mereka sendiri sebagai sesama warga Indonesia inilah justru membuat kelompok ini sering dijadikan pion dan sasaran permainan politik para politikus di Indonesia.
Jadi bila kita melihat sejarah dengan lebih seksama, hampir tidak adanya relevansi antara terlibat/tidaknya etnis Tionghoa dalam dunia politik di Indonesia dengan frekwensi terjadinya kerusuhan anti Tionghoa di Indonesia. Terlibat atau tidak terlibatnya etnis tionghoa dalam politik, kerusuhan anti Tionghoa kerap saja terjadi di Indonesia biarpun ketidakpuasan massa sebenarnya lebih kepada penguasa dibandingkan kepada kelompok Tionghoa. Mungkin hanya kelompok etnis Tionghoa yang kerap menjadi sasaran bagi kemarahan massa dibandingkan kelompok etnis lain di Indonesia.


J.         Pemerintah, Negara dan Peradaban

Di akhir diskusi kebangsaan NIM (9/12/06) itu, penggagas NIM Bapak Anand Krishna sempat mengatakan bahwa kita semua harus mampu membedakan antara China Rezim (Pemerintah), Orang China dan Peradaban China. Memang di sini lah masalah kadang berasal.
Ketidak-mampuan, baik bumiputera maupun etnis Tionghoa, membedakan antara Pemerintahan China dengan Negara China dengan Orang China membuat terjadi generalisasi bahwa etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia dengan Rakyat China adalah sama sehingga pasti lebih loyal pada RRT daripada kepada NKRI. Padahal terdapat banyak fakta-fakta dalam sejarah Indonesia berkata sebaliknya bahwa (tidak semua) etnis Tionghoa Indonesia tidak hanya numpang hidup di Indonesia. Sebaliknya, karena beberapa kali menjadi sasaran amukan masa dan korban dari perundangan yang berbau diskriminasi, banyak etnis Tionghoa meng-generalisir semua bumiputera sebagai anti-tionghoa. Padahal tidak demikian.
Pada masa-masa orde baru, etnis tionghoa dipaksa ber-asimilasi karena secara fisik etnis Tionghoa tidak berbeda dengan Rakyat China. Dan, demi permainan politik ataupun memang kurangnya pengetahuan, Rakyat China pun dianggap sama kelakuannya dengan Pemerintahan Komunis China yang berkuasa. Kebetulan pemerintah Indonesia saat itu sedang giat-giat-nya berkampanye anti-komunis sebagai imbal balik dari dukungan Inggris dan Amerika Serikat yang sedang gencar memerangi komunisme di dunia.[14] Dan, cara termudah dan tercepat untuk mendapat dukungan rakyat bagi pemerintah Orba yang masih baru waktu itu adalah menciptakan “common enemy,” yakni : RRT yang komunis. Maka dibuatlah iklim politik yang tidak kondusif bagi etnis tionghoa di Indonesia.
Padahal, menurut Siauw Giok Tjhan sendiri, nasionalisme seseorang atau bukti bhakti seorang warga kepada negara (bukan pemerintah) tidak ditentukan oleh fisik, nama, agama, bahasa atau tradisi kebudayaan-nya, tapi dengan kesungguhan pemikiran dan tindakannya kepada negara di mana dia mengabdi.
Dalam Acara Open House (12 Mei 2007), Bapak Anand Krishna sekali lagi menyuarakan apresiasi tertinggi pada peradaban dan kebudayaan Tionghoa yang sudah berumur ribuan tahun seperti juga kebudayaan Mesir dan India. Tapi beliau mengkritik keras cara Pemerintahan Komunis China dalam memimpin negara RRT.
Negara RRT tentu tidak identik dengan Pemerintahan Komunis China sekarang ini yang begitu tega menindas rakyat China sendiri demi kemajuan ekonomi negara tersebut. Meskipun tidak menyetujui Ajaran Falun Gong, tapi beliau sangat menyesalkan tindakan pemerintahan Komunis China dalam hal perlakuan terhadap para narapidana pengikut Ajaran Falun Gong.

K.        Catatan Kelam Etnis Cina pada Kerusuhan Mei 1998 di Palembang

Kemarahan masyarakat terhadap kebrutalan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti dialihkan kepada orang Indonesia sendiri yang keturunan, terutama keturunan Cina. Betapa amuk massa itu sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam hari mulai pada malam hari tanggal 12 Mei dan semakin parah pada tanggal 13 Mei siang hari setelah disampaikan kepada masyarakat secara resmi melalui berita mengenai gugurnya mahasiswa tertembak aparat.
Sampai tanggal 15 Mei 1998 di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di Indonesia terjadi kerusuhan besar tak terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di kota-kota Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Sebagian mahasiswa mencoba menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang marah. [15]


Sebuah Cerita dari Pengalaman Seorang Saksi Mata Kerusuhan Mei 1998 di Palembang
Palembang 14 Mei 1998
“Kito dak pacak lewat jembatan Ampera, lah ditutup” (kita sudah tidak bisa lewat jembatan Ampera karena sudah diblokade. Hari itu 14 Mei 1998 kami sedang berada di Palembang dalam rangka liburan dan menjadi salah satu saksi tragedi Mei 98 yang ternyata menjalar juga sampai ke kota ini. Tulisan ini bukan penggalan penting sebuah sejarah kelam di Indonesia, tapi sebuah kesaksian pribadi betapa negeri ini seringkali kehilangan nalar sehatnya dan tak pernah ragu mengorbankan orang2 tak berdosa. Berapapun jumlahnya.
Sebagian masa kecil saya dibesarkan di kawasan 10 Ulu Palembang sebuah komunitas multi etnis yang didominasi oleh para pedagang kecil dan warung makanan. Di sini terdapat klenteng Soei Goeat Kiong, bangunan ibadah Tri Dharma (Tao, Budha, Kong Hu Chu) tertua di Palembang yang dibangun di abad ke-18. Di sebelahnya terdapat  sebuah masjid yang pembangunannya merupakan hasil kerjasama dengan pengurus klenteng. Kedua tempat ibadah ini berdiri berdampingan, sebuah refleksi pluralisme yang sudah terjalin sejak lama. Setiap Imlek kami berkunjung ke rumah mereka, Lebaran pun sebaliknya. Intinya, warna kulit, agama dan kepercayaan bukanlah sekat ala hukum Jim Crow saat era rasialisme di Amerika.
Relasi masyarakat Tionghoa dan penduduk sekitar yang sudah terbangun sejak lama harus diuji pada saat kerusuhan terjadi. Ketegangan sudah terjadi sejak pagi hari saat kumpulan orang sudah mulai ramai di jalan sekitar pasar 10 Ulu. Entah siapa yang memberi komando,  tiba-tiba orang-orang mulai menjarah isi pasar hingga ludes. Para tetangga dan kami hanya bisa menyaksikan orang-orang yang entah dari daerah mana mengangkut sembako “gratis”.
Para pedagang Tionghoa di sekitar kami mulai khawatir dan terus menoleh ke jalan raya tempat kerumunan massa dan penjarahan terjadi. Untuk berjaga-jaga, mereka menggantungkan sajadah, sebuah lambang yang diharapkan dapat memberikan sedikit ketenangan agar terhindar dari amuk massa. Mong Ci sahabat dari kecil ibu saya (alm) terlihat tegang, namun  bersama keluarga berusaha menenangkannya. Ia hanya pedagang kelontong kecil yang sudah merelakan hartanya diambil orang. Untuk sementara ia diminta tinggal di rumah kami sampai keadaan aman.
Takut kejadian semakin parah, paman kami yang tertua megambil inisiatif menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat penampungan dagangan para tetangga. Rumah tradisional di Palembang terdiri dari dua tingkat, dan bagian bawah biasanya dimanfaatkan untuk gudang. Gudang inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk mengungsikan barang dagangan para tetangga. “Silakan ambil saja apa yang diperlukan daripada dijarah orang” kata mereka kepada kami. Paman saya tidak berkata apa2, cuma menyuruh mereka tinggal di rumahnya yang sudah dipenuhi beberapa keluarga Tionghoa. Sementara penjarahan semakin menggila dan orang2 seakan berpesta mengangkut sembako dari pasar 10 Ulu hingga keesokan harinya.
Apa yang dilakukan keluarga kami untuk menyelamatkan para tetangga Tionghoa tidaklah penting. Banyak orang melakukan hal yang sama karena kesadaran kemanusiaan dari sebuah tragedi yang memilukan. Kerjasama erat dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan antar etnis yang selama ini dilakukan di 10 Ulu terbukti menjadi pembelajaran penting dalam membangun sebuah masyarakat plural. Harmoni yang sudah terjalin selama puluhan tahun ternyata ampuh menghadapi goncangan dengan magnitude sebesar tragedi Mei sekalipun.
Palembang, 26 April 2009.
Guan Sik sahabat ayah saya yang orang Tionghoa tersenyum bahagia menyambut kedatangan kami bulan lalu saat libur di Palembang. Klenteng Soei Goeat Kiong masih berdiri kokoh berdampingan dengan masjid yang berdiri di sampingnya menghadap sungai Musi. Sebagaimana para korban kerusahan, di Palembang, saya mencoba mencari jawaban kejadian 11 tahun lalu, tapi saya tidak mengerti mengapa kejadian ini bisa terjadi.

Setelah kerusuhan, yang merupakan terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia pada abad ke 20, yang tinggal hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. Bangsa ini telah menjadi bodoh dengan seketika karena kerugian material sudah tak terhitung lagi padahal bangsa ini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Belum lagi kerugian jiwa di mana korban yang meninggal saat kerusuhan mencapai ribuan jiwa. Mereka meninggal karena terjebak dalam kebakaran di gedung-gedung dan juga rumah yang dibakar oleh massa. Ada pula yang psikologisnya menjadi terganggu karena peristiwa pembakaran, penganiayaan, pemerkosaan terhadap etnis Cina maupun yang terpaksa kehilangan anggota keluarganya saat kerusuhan terjadi. Sangat mahal biaya yang ditanggung oleh bangsa ini.
Akhirnya dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini karena saat itu Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia karena peristiwa memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang mengikuti peristiwa gugurnya Pahlawan Reformasi.
Demonstrasi terjadi di kota-kota besar dunia mengecam kebrutalan para perusuh. Akhirnya untuk meredam kemarahan dunia luar negri TGPF mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan bahwa adalah benar terjadi peristiwa pemerkosaan terhadap wanita etnis minoritas yang mencapai hampir seratus orang dan juga penganiayaan maupun pembunuhan oleh sekelompok orang yang diduga telah dilatih dan digerakkan secara serentak oleh suatu kelompok terselubung. Sampai saat ini tidak ada tindak lanjut untuk membuktikan kelompok mana yang menggerakkan kerusuhan itu walau diindikasikan keterlibatan personel dengan postur mirip militer dalam peristiwa itu.





BAB III
PENUTUP

Peristiwa Mei 1998 bagaikan suatu bencana besar yang esensial dalam waktu yang relativ singkat. Salah satu aspek yang mendapat imbas dari peristiwa tersebut adalah citra diri. Peristiwa itu telah mengubah citra diri yang dimiliki sebelumnya oleh orang –orang Indonesia keturunan Cina ini, sehingga mereka mengalami suatu perubahan besar dalam diri mereka.
Citra diri yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membentuknya dapat “dihancurkan” begitu saja dan meninggalkan efek yang sangat dalam. Perlu waktu yang cukup lama agar seseorang dapat mengembalikan citra dirinya seperti semula, atau dapat menyesuaikan diri dengan citra dirinya yang baru ( yang terbentuk karena pengalaman baru ). Proses ini juga tidak lepas dari kemungkinan munculnya sejumlah konflik baru.
 Intimidasi, membeda-bedakan antara WNIK dan WNIP dalam berbagai bidang juga membuat orang etnis Cina mengalami krisis identitas diri mereka ebagai WNI bahkan mendorong orang-orang etnis Cina ingin kembali ke negaranya.
Akhirnya, semoga setelah sekian banyak paparan di atas dapat membuka pikiran kita sebagai WNIP agar tidak mengintimidasi, merendahkan, mengolok-olok, atau membeda-bedakan etnis Cina dalam pergaulan, karena pada dasarnya mereka juga merupakan WNI yang sama-sama memiliki jiwa patriotime kebangsaan.


[1] I Wibowo, Harga Yang Harus Dibayar Etnis Ina Di Indonesia, Pt Gramedia Pustaka Utama , 2001 . hlm 7.
[2] Bangun Lubis , Orang Tionghoa Menyebut Palembang Fa Lin Fong. Suara Pembaruan Palembang
[3] Opcit .hal. 1
[4]  Bagun Lubis . Biro Pusat Statistik. Suara Pembaruan Palembang .
[5] I.Wibowo, Retrospeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina . PT. Gramedia Pustaka Utama . Jakarta : 1999. hal 75-76.
[6] Donald M. Nonini dan Aihwa Ong, “Chinese Transnationalism as an Alternative Modenrnity”, dalam Donald M. Nonini dan Aihwa Ong, eds. Ungrounded Empiris. The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism ( London:Routledge, 1997) hal.17-18.
[7] Encyclopedia Britanica, 1982, 307- dst.
[8] Opcit hlm.1
[9] Ibid hal 131-132
[10] Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia, Perhimpunan Inti, 2002. (Disampaikan pada Diskusi Akbar Perhimpunan INTI Jakarta, 27 April 2002, di Hotel Mercure Rekso Jakarta.) hlm. 214-213
[11] Milis-milis tentang (etnis Tionghoa) baik di yahoo e-groups maupun googlegroups.hlm.56
[12] Opcit.hlm.58
[13] Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia, Perhimpunan Inti, 2002. (Disampaikan pada Diskusi Akbar Perhimpunan INTI Jakarta, 27 April 2002, di Hotel Mercure Rekso, Jakarta.).hlm.27-28
[14] Ibid.hlm 68
[15] “Perusuh Menjarah”,Kompas (15 Mei 1998)


DAFTAR PUSTAKA

Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia, Perhimpunan Inti, 2002. (Disampaikan pada Diskusi Akbar Perhimpunan INTI Jakarta, 27 April 2002, di Hotel Mercure Rekso, Jakarta.)
Bangun Lubis , Orang Tionghoa Menyebut Palembang Fa Lin Fong. Suara Pembaruan Palembang.
Bagun Lubis . Biro Pusat Statistik. Suara Pembaruan Palembang.
Donald M. Nonini dan Aihwa Ong, “Chinese Transnationalism as an Alternative Modenrnity”, dalam Donald M. Nonini dan Aihwa Ong, eds. Ungrounded Empiris. The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism (London:Routledge, 1997).
Encyclopedia Britanica, 1982
I Wibowo, Harga Yang Harus Dibayar Etnis Cina Di Indonesia, Pt Gramedia Pustaka Utama , Jakarta : 2001 .
I.Wibowo, Retrospeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina . PT. Gramedia Pustaka Utama . Jakarta : 1999.
“Perusuh Menjarah”,Kompas (15 Mei 1998)

1 komentar:

  1. Jangan sedikitpun memberi celah kepada mereka di bidang pemerintahan.Karena mereka terbukti sangat membela kaum nya.

    BalasHapus